6. February 2009 Made Jati, Ni Nyoman Suti and Heru Widiyanto Reported at Polda Bali for Perjury

(Police Report No: Pol: LP/ 101/ II/ 2009/ Siaga-1 Bareskrim, dated 26 February 2009, investigation based upon Order for Investigation Number: Sprin Sidik/ 267/ III/ 2009/ Dit Reskrim, dated 12 March 2009.)

The Initial Report:

Michael did not trust the police in Bali to investigate charges against Made Jati, so he filed a new complaint, this time for suspected Perjury, at the National Police in Jakarta in February 2009. After a quick review of the case the National Police sent the complaint to Polda Bali as the local investigative unit with an endorsement and clear instructions to conduct a thorough and transparent investigation.

The indications of perjury were clear:

• Made Jati claimed in her 2005 Accusation of Divorce that a Balinese marriage ceremony had occurred at her home in Kuta in September 1996. She admitted in 2006 to the police, and in many other documents afterwards, that this ceremony had never occurred.

• Made Jati submitted photos of a 1994 ceremony and claimed them to be evidence of the 1996 ceremony.

• Made Jati submitted marriage documents which Supreme Court decisions declared to be invalid and “acquired in a manner contrary to law.”

• Made Jati submitted supporting documents falsely claiming to have been unmarried in 1992, 1993 and 1994 and 1996, all which were declared by the courts to be untrue.

• Made’s sister Nyoman Suti, testified that she had witnessed Made Jati and Michael’s Balinese marriage ceremony in 1996, which was untrue.

• The Uluwatu manager Heru Widiyanto testified in two separate trials that he knew of the Balinese marriage ceremony in 1996, which was untrue.

Later Developments:

Investigation at Polda Bali was extraordinarily slow and only advanced with continual prodding from the National Police. When Michael called the investigator on 15 July 2009 to ask about progress, the investigator told him:

• The police had interviewed Nyoman Suti and Heru Widiyanto and asked them if they had committed perjury and both said they "forgot," so there was no evidence of perjury.

• Although it was true that Nyoman Suti's and Heru Widiyanto's testimonies were recorded in the trial records and they clearly said "1996", decisions of the Supreme Court had overturned these National Court decisions. This meant that everything in the National Court trial records now meant its opposite.

• Although the police had not yet interviewed Made Jati, they would have to interview Michael in Bali before the case could continue.

The National Police advised Michael that traveling alone to Bali could be dangerous but they recommended an interview by a Polda Bali investigator to take place under their supervision in Jakarta. The Bali police immediately declared the case closed and issued a stop order.

Further prodding by the National Police was apparently ignored by Polda Bali until a letter ordering an explanation of the stop order was sent by the National Police Internal Affairs Commission in March 2010. In response, the Chief of Police (Kapolda) stated that the relevant section of the criminal code, Section 242 KUHP Regarding Perjury, under which he had been ordered to conduct an investigation, contained four paragraphs:

(1) Whosoever is ordered by law to give true testimony under oath, or other consequence of law because of that testimony, does purposely gives false testimony or swears falsely, either orally or written, whether personally or through an attorney acting on his behalf, faces a penalty of imprisonment for a maximum of seven years.

(2)If that testimony under oath is given in a criminal proceeding and causes a loss to the accused or the suspect, the subject faces a penalty of imprisonment for a maximum of nine years.

(3) Also considered equivalent to an oath is an agreement or other situation governed by public regulations or other equivalents of oaths.

(4) Conviction can also result in loss of rights per Section 35 No 1 - 4 KUHP (right to vote, hold public office, etc.)

Because there were four paragraphs, the Kapolda stated, investigators at Polda Bali did not know which was the appropriate paragraph and there were no instruction from the National Police about which paragraph to use, therefore the case was at a dead end.

6. Februari 2009 Made Jati, Ni Nyoman Suti dan Heru Widiyanto Dilaporkan di Polda Bali Karena Keterangan Palsu di Sidang

(Laporan Polisi No: Pol: LP / 101 / II / 2.009 / Siaga-1 Bareskrim, tanggal 26 Februari 2009, investigasi berdasarkan Pesanan untuk Penyidikan Nomor: Sprin Sidik / 267 / III / 2009 / Dit Reskrim, tanggal 12 bulan Maret 2009. )

Laporan Awal:

Michael tidak mempercayai polisi di Bali untuk menyelidiki laporan terhadap Made Jati, sehingga ia mengajukan keluhan baru, kali ini untuk Keterangan Palsu di Sidang, di Kepolisian Nasional di Jakarta pada bulan Februari 2009. Setelah menerima penjelasan masalah di institusi hukum di Bali, Kepolisian Nasional mengirim laporan tersebut ke Polda Bali sebagai unit penyelidikan lokal dengan persetujuan dan instruksi yang jelas untuk melakukan penyelidikan menyeluruhnya dengan transparan.

Indikasi adanya Keterangan Palsu di Sidang jelas:

• Made Jati menyatakan di Gugatan Perceraiannya tahun 2005 bahwa upacara perkawinan Bali telah dilangsungkan di rumahnya di Kuta pada bulan September 1996. Pada tahun 2006 dia mengakui pada penyidik Hagnyono SH di Polda Bali, dan lagi di dokumen-dokumen lainnya setelah itu, bahwa upacara ini tidak pernah terjadi.

• Made Jati menyerahkan foto-foto upacara 1994 dan menyatakan foto-foto sebagai bukti upacara 1996.

• Dokumen perkawinan yang diajukan pada Pengadilan Negeri sebagai bukti Made Jati sudah dinyatakan di putusan Mahkamah Agung "tidak sah" dan "didapatkan dengan cara melawan hukum."

• Made Jati mengajukan dokumen pendukung palsu yang mengakuinya Belum Kawin pada tahun 1992, 1993 dan 1994 dan 1996, semua yang telah dinyatakan oleh pengadilan tidak benar.

• Nyoman Suti, adik Made Jati, menjelaskan sebagai saksi dibahwa sumpah bahwa ia telah menyaksikan Made Jati dan Michael menikah di upacara Bali pada tahun 1996, yang tidak benar.

• Heru Widiyanto, manajer Uluwatu, menjelaskan sebagai saksi dibahwa sumpah dalam dua sidang terpisah bahwa ia ketahuan upacara pernikahan Bali pada tahun 1996, yang tidak benar.

Perkembangan:

Pemeriksaan di Polda Bali luar biasa lambat dan hanya maju dengan dorongan terus-menerus dari Kepolisian Nasional. Ketika Michael menelepon pada Kanit penyidik pada tanggal 15 Juli 2009 untuk bertanya tentang kemajuan, Kanit mengatakan kepadanya:

• Polisi sudah mewawancarai Nyoman Suti dan Heru Widiyanto dan bertanya apakah mereka telah melakukan Keterangan Palsu di Sidang, dan keduanya mengatakan "lupa", jadi tidak ada bukti Keterangan Palsu.

• Meskipun benar bahwa Nyoman Suti dan Heru Widiyanto dicatat dalam catatan pengadilan, dan mereka jelas mengatakan "1996", keputusan Mahkamah Agung telah membatalkan dan membalikan keputusan Pengadilan Negeri iti. Ini berarti bahwa segala sesuatu dalam catatan sidang Pengadilan Negeri sekarang tidak ada lagi atau artinya dibalikan.

• Meskipun polisi belum wawancarai Made Jati, mereka harus wawancarai Michael dulu di Bali sebelum kasus itu bisa dilanjutkan.

Kepolisian Nasional menyarankan Michael jangan berpergian sendirian ke Bali karena bisa berbahaya, namun mereka merekomendasikan sebuah wawancara oleh penyidik Polda Bali di bawah pengawasan Polisi Nasional di Jakarta. Polisi Bali segera menyatakan kasus ini ditutup dan menerbitkan surat perhentian.

Dorongan lebih lanjut oleh Kepolisian Nasional diabaikan oleh Polda Bali sampai surat perintah penjelasan dikirim oleh Kepolisian Nasional Komisi Urusan Internal bulan Maret 2010. Sebagai tanggapan, Kepala Kepolisian (Kapolda) menyatakan bahwa bagian yang relevan dari hukum pidana, Pasal 242 KUHP Tentang Keterangan Palsu di Sidang, di mana dia telah diperintahkan untuk melakukan penyelidikan, terdapat empat paragraf:

(1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(3) Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.

(4) Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan.

Karena ada empat paragraf, para Kapolda menyatakan, penyidik di Polda Bali tidak tahu yang merupakan ayat yang sesuai dan tidak ada instruksi dari Polri, sehingga kasus itu kena jalan buntu.